Skip to main content

O tempora! O mores! Oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!

O tempora! O mores! Oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini!


Itu adalah kata pembukaan orasi dari senator Cicero saat berdebat melawan Catilina, seorang politikus Roma di hadapan Senat Romawi tahun 63 SM. Oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini! Kutipan lengkapnya seperti ini: “O tempora! O mores! Senatur haec intellegit, consul videt; hic tamen vivit. Vivit? Immo vero etiam in senatum venit, vit publici consili particeps, notat et designat oculis ad caedem unum quemque nostrum. Nos autem, fortes viri, satisfacere rei publicae videmur, si istius furorem ac tela vitamus. Ad mortem te, Catilina, duci iussu consulis iam pridem oportebat, in te conferri pestem, quam tu in nos machinaris.”

Artinya: Oh, zaman apakah ini! Oh, akhlak macam apakah ini! Senat sudah mengetahuinya, Konsul sudah melihatnya; namun orang ini (Catilina) masih juga hidup. Dia itu sungguh hidup? Ya, dia bahkan datang ke Senat, dia ikut serta merumuskan kebijakan publik, dengan pandangan matanya dia mencatat dan menentukan setiap orang dari kita semua untuk dibunuhnya. Sementara kita ini, orang-orang yang gagah berani, tampaknya sudah puas dengan mengurus kepentingan umum apabila kita berhasil menghindari kegilaan dan senjata orang ini. Dan engkau, Catilina,  seharusnya sudah sejak lama, atas perintah Konsul, bencana kematian yang telah kau rancang untuk kami semua, ditimpakan kepadamu (dikutip dari Proverbia Latina, 2006).
***
“Marketing is not just one of the most important ideas in business. It has become the most dominant force in human culture,” begitu ujar Geoffrey Miller (dalam bukunya Spent: Sex, Evolution, and Consumer Behavior, Penguin Books, New York, 2009). Di jaman ini, hampir semua produk yang kita beli telah melalui suatu bentukan proses pemasaran tertentu. Para pemasar di era mutakhir ini terus berpikir keras untuk mencari jalan bagaimana menjual produk yang bakal semakin membahagiakan kita. Proses produksi bukan semata dipicu oleh angka pencapaian profitabilitas produk pada semester yang lalu, namun lebih di-drive oleh
pelbagai riset empiris tentang preferensi dan personalitas manusia, termasuk juga penghayatan dan pendalaman lewat riset kualitatif consumer-insight.

Ekonomi nampaknya tidaklah diatur diam-diam oleh “tangan tak terlihat” (the invisible hands) ala Adam Smith, tetapi lebih karena rekayasa canggih melalui teknologi pemasaran para global-marketer di perusahaan-perusahaan transnasional. Hasrat manusia digiring ke arah pemujaan tanda (simbol) dewa-dewi jaman modern atau post-modern. Logo dan merek (brands) menjadi ideologi (diterima kebenarannya tanpa kritik). Dan yang dalam perspektif posmo, kebenaran itu tidak ada yang tunggal. Dengan mengideologikan merek-merek ini, proses penjualan telah dilapangkan jalannya, fanatisme (cara melihat dunia dengan kacamata kuda) telah menjadi cara pandang konsumen terhadap realitas dunianya. Tempat-tempat “ibadah” post-modern (mall, plaza, square, centre, situs internet, dll) telah menjadi suatu lokasi (place and space) dimana para jemaat merek (brand) mereguk kesegaran rohaniahnya paling tidak seminggu sekali. Di dalam mall ada banyak stasi-stasi dimana jemaat post-modern bisa berhenti sejenak untuk mendapatkan visi tentang citra dirinya di masa depan (jika membeli dan memakai merek dari stasi tertentu itu), meng-amin-inya, lalu bergerak ke stasi-stasi berikutnya demi mendapat “pencerahan” lebih lanjut. Begitulah ritual masyarakat pemuja merek mengolah kerohaniannya setiap minggu. Kalau perlu, sekali waktu diadakan semacam “kebangunan rohani” pemasaran (baca: Mega Sale! Diskon 70%), ala Crocs misalnya, yang telah berhasil membuat ribuan orang (tua-muda, pria-wanita) berbaris antri – beratus-ratus meter di dalam mall! – dengan tertib dan khusyuk demi memperoleh “berkat” dari merek sandal modis itu.
***
Halaman depan media massa kita beberapa waktu ini terus didominasi oleh kisah para pejabat yang tertangkap terang-terangan mengumbar hasratnya libidinal
dalam pelbagai kasus: Anggoro, Antasari, kasus Gayus serta rangkaiannya, Melinda, kasus Nurpati, sampai ke kasus Nazaruddin yang menyeret-nyeret anggota dewan perwakilan kita ke dalam transaksi pasar buah (apel Malang, apel Washington) yang rupanya adalah kata ganti benda untuk uang rupiah dan uang dollar, walahuallam! Mentalitas menerabas ke jalan pintas, tidak lagi menghargai proses, ketekunan dan disiplin, rasanya telah endemik di jaman ini. Mengapa kita semua bisa sampai di persimpangan jalan (tepatnya: kubangan) seperti ini? O tempora! O mores! Pertanyaan sederhana ini, dengan sedikit perenungan yang berjarak, bisa menjadi eksistensial.

Jika marketing begitu sentral perannya dalam kebudayaan manusia jaman modern, tentu ia membawa tanggung jawab sosial yang juga semakin besar. Dalam konteks ini, kita sepakat bahwa etika pemasaran menjadi imperatif.

Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

Comments

Popular posts from this blog

Kasus Pemerkosaan Meningkat, Kenapa Bisa Terjadi?

Kasus Pemerkosaan Meningkat, Kenapa Bisa Terjadi? Akhir-akhir ini kita digemparkan dengan kasus pemerkosaan yang datang bertubi-tubi. Pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan.  Kita tidak bisa memaafkan perlakuan "binatang" para pelaku pemerkosaan yang dengan sangat tega dan bengis melakukan perbuatan tersebut. Kemana nurani sebagai manusia yang punya rasa berbelas kasih..? Hilangkah rasa iba itu dari lubuk hati..? Kenapa tega berbuat keji, apakah hanya karena nafsu semata..? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul begitu saja ketika mendengar kasus pemerkosaan berulang lagi. Menanggapi kasus ini Pemerintah Indonesia, mengambil keputusan cepat untuk menanggulangi kejadian ini agar tidak terulang lagi. Hukuman kebiri diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk pelaku pemerkosaan. Namun apakah hukuman ini akan menghentikan kejahatan (pemerkosaan) ini..? Saya rasa tidak...ini seperti memberi obat kepada pesakitan tanpa tahu kenapa dia sakit dan me

Cinta Terlarang, Berawal Dari Curhat Di Facebook

Cinta Terlarang, Berawal Dari Curhat Di Facebook Facebook merupakan media sosial yang paling banyak penggunanya. Mulai dari anak-anak sampai orang tua. Semua orang mengunakan Facebook. Seperti yang kita lihat dan kita dengar, banyak sekali kasus penipuan, pemerkosaan berawal dari Facebook. Namun itu tidak membuat orang jera mengunakan Facebook. (Baca juga:  Dari Malu-Malu Kucing Menjadi Malu-Malu Serigala ) Ada bermacam-macam pengguna dengan tujuan yang beragam. Dari partai, para tokoh masyarakat sampai media web berita mengunakan facebook. Tak jarang kita temukan orang mempromosikan jualannya secara online. Sebagian besar lainnya menggunakan Facebook sebagai ajang mencari jodoh dan teman. Sering kita dengar cinta berawal dari dunia maya, sama halnya dengan perselingkuhan. Banyak orang terjebak dalam lembah ini, terjebak dalam cinta semu yang tak seharusnya terjadi. Berikut ini sebuah kisah dimana cinta terlarang (perselingkuhan) ini terjadi. Sebut s

Seribu Cara Dapat Bitcoin Gratis

Seribu Cara Dapat Bitcoin Gratis Tidak memperbanyak kata, kita langsung tancap gas saja gais......Ikuti cara mendapat Bitcoin gratis dibawah ini......... 1. BitcoinClix Caranya Klik [ Bitcoin Clix ] lalu daftar/regis akun anda. Kerjakan semua tugas yang diberikan. Cara kerja tugas, klik dibagian Earn Money. Nah untuk yang ini hasil earn money bisa langsung dikirim ke Indodax untuk diuangkan. Untuk lebih mudahnya dan cepat disarankan untuk Withdraw terlebih ke FaucetPay . Silakan daftar disini, Klik [ FaucetPay ] 2. CryptoTab Caranya Klik link [ CryptoTab ] kemudian Download melalui app untuk HP. Cara kerjanya gampang kok. CryptoTab sendiri sebenarnya sebuah browser sama seperti Google Crome. Lakukan pencarian seperti YouTube, atau apapun melalu browser CrytoTab yang sudah didownload tersebut maka anda akan mendapatkan Bitcoin secara gratis. Jadi dia kita jadikan pengganti dari Google Crome. Cara withdraw bisa langsung ke akun Indodax dll. Untuk lebih mudahnya dan cepat disarankan unt